Blog Posts
Clarifying Go package names in TDLib's documentation.
New color palettes!
Twitter's removing "Twitter for X" labels? Here's how it just made the platform worse.
Twitter for iPhone. Sounds like a social status and a nightmare for Android phone companies when accidentally tweeting from their iPhones. Well, that's until Elon decided to remove it because he thought it was a waste of space and compute. But we feel removing it just makes the platform worse, especially in terms of spam, automated engagement, and disinformation. How can you tell real vs. automated posts on Twitter? How do you tell a cyborg (real × bot) account? Real quick before the labels are deleted from our devices, I'd like to point out a recycled developer named Madza. You'll notice that his Tweets and Replies are full of recycled Twitter threads. Yeah, they're recycled as you, as a software developer, might already know some of his "interesting facts" even years before his thread. And it's definitely a red flag to see that he very rarely responds to thousands of incoming comments from people he "engaged" with, or should I say, just happen to be algorithmed by Twitter. From that little, "space-wasting" piece of information, we can already see that he always uses a third-party engagement platform named FeedHive. And of course, FeedHive denied our claims that people like him use FeedHive's amazing, AI-powered tools for raising their number of likes, comments, retweets, and followers. Hiding this info from the public just made the platform worse. Now we can't tell which Tweets were made by, for example, a ChatGPT AI instead of real humans. For security reasons... These labels are also a good way of identifying things like misinformation and possible cyber attacks happening on third-party apps. For example, a third-party app accidentally leaked their Twitter API keys, and all the users' Twitter Authorization Session keys, which can be exploited to promote things, such as scams and malvertising. Or in case you still don't understand: let's say that you've authorized a third-party app to Twitter, including posting on behalf of your account. These credentials are stored online and the app was suddenly hacked. In this case, we could help investigate whether things like this could occur, by scanning Tweets for the same info used to mock Android companies for using iPhones. Our plans. Even if stubborn Elon would not listen to our advice, we will still support the inclusion of this tag on many federated social platforms. Mastodon is one of the early adopters for this, and we'll proudly support the inclusion of the same feature in Misskey and Pleroma as well, for security purposes as well as promoting diversity and inclusion of Fediverse clients and apps.
2023: Apa Adanya.
Kamu adalah terang dunia, layaknya kota di atas bukit yang tak tersembunyikan. Entahlah, untuk apa kamu menyalakan cahaya di dalam ember yang tertutup? Lagipula, semua orang menaruh lampu di tempat yang benar, di atas, biar ada gunanya. Dan hukum ini juga berlaku di dunia maya. Di tengah-tengah orang yang: haus dan lapar akan penghasilan AdSense, selalu memposting hal yang baik dan jarang yang buruk agar dapat dilirik para rekruter di LinkedIn, mengadu nasib sebagai seorang vampir, warga kerajaan Atlantis, dan putra-putri rubah dan kucing, memberi rating bintang lima di Google Maps, TripAdvisor, dan Zomato agar dapat minuman gratis dari yang punya, berkepribadian ganda; yang asli dan yang maya, layaknya kittykat96 dan para æ di bawah kolong langit metaverse, memperdagangkan likes, comments, followers, dan bahkan centang biru, merasa takut dan mendapat rezeki di dalam kegelapan, di dalam balutan dinding-dinding bawang sambil menipu, merusak, dan menguasai gelapnya internet, serta yang merasa bahwa Google dan perusahaan serupa harus dibumihanguskan dengan teknologi blockchain. Setelah 4 1/2 tahun aku menutup dan mengaku diri sebagai seorang (>_ ), robot, Anak IT, superhero, dan sebagainya, aku memutuskan untuk menjadi orang yang apa adanya. https://youtu.be/Owmdy7bjIys Tidak ada yang akan kusembunyikan, meskipun dunia fana dan maya ini mengajarkan yang sebaliknya. Sebab ku tak dapat menjadi terang, jika ku tetap menutup-nutupi diriku sendiri. Bahkan pun jika ku berteduh di balik seorang OC, persona, æ, character sheet, hewan, VRM, Live2D, dan apapun itu juga. Ia malah akan menaruh lampu itu pada tempat lampu, supaya memberi terang kepada setiap orang di dalam rumah. Begitu juga terangmu harus bersinar di hadapan orang, supaya mereka melihat perbuatan-perbuatanmu yang baik, lalu memuji Bapamu di surga. Matius 5:15B-16 (BIMK) Aku tak membutuhkan sebuah identitas palsu yang dapat ku pakai setiap hari. Sudah jelas, apa yang ku butuhkan adalah tempat lampu yang ditempatkan di tempat yang tepat. Dan untuk diriku yang berubah ini, akan terus berubah, mengubah diriku yang selalu berubah ini bersama banyak orang yang ku kasihi.
It's time to turn Twitter into a Parler clone.
Mengkritik pemerintah (khususnya Kominfo).
Tak sedikit warganet yang mengkritik pasal-pasal penghinaan pemerintah pada rancangan KUHP yang baru saja diresmikan. Banyak orang yang akhirnya menyerah, pasrah, dan memprediksikan kebebasan masyarakat Indonesia akan dikekang layaknya Republik Rakyat Cina. Saya percaya akan ada banyak kekecewaan demi kekecewaan yang akan muncul, dan KUHP tak hanya menjadi satu-satunya alasan. Demikian pula dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang semakin membuat saya frustasi. Tak usah jauh-jauh ke masalah PSE dan proyek DNS Nasional, saya memutuskan untuk setop melaporkan website-website bermasalah ke dalam kanan Aduan Konten, karena para penyedia jasa web hosting lauh lebih cepat menonaktifkan website daripada tim Aduan Konten merubah status laporan saya dari laporan "baru" menjadi "sedang diproses". Di dalam era di mana mengkritik pemerintah sudah masuk ke dalam ranah pidana, saya percaya masyarakat tetap akan berkreasi dalam mengkritik pemerintah. Salah satu contoh yang bisa saya perankan adalah frasa "dengan terpaksa", misalnya "lagu wali kota ini bagus, karena kalau saya bilang ini jelek saya pasti digugat KUHP." Masih tidak ada ayat yang melarang masyarakat untuk mengkritik pemerintah dengan mengatakan hal-hal yang bagus dengan kata "terpaksa", apalagi kata-kata hujatan yang diekspektasikan pemerintah tidak terdapat dari tutur katanya. Dan saya, khususnya dalam masalah Kominfo ini, saya akan melawannya dengan membuktikannya. Sebagai contoh, mari kita mengkritik program Pandu Digital, karena mereka justru membuat masyarakat Indonesia semakin ketergantungan terhadap produk merek-merek dagang tertentu. Mereka akan terlatih untuk menggunakan Microsoft Powerpoint, misalnya, namun tidak terlatih untuk menggunakan piranti lunak apapun yang berhubungan dengan presentasi berbentuk slideshow, baik itu Google Slides, Keynote, Canva, LibreOffice Impress, Figma, dan bahkan software slideshow baru bikinan anak-anak bangsa. Dalam kasus-kasus ini saya percaya, peribahasa "tong kosong nyaring bunyinya" ini tetap akan berlaku baik di sisi pemerintah maupun pengkritik. Karena yang seharusnya dilakukan oleh pengkritik bukanlah dengan merekrut buzzer bayaran atau melakukan demo dari Senayan hingga Gambir. Yang seperlunya diperlukan adalah proses dan metode yang membuahkan hasil yang layak disebut sebagai alpha, alias keunggulan kompetitif dari solusi sang pengkritik. Dalam kasus ini, lebih baik saya membuat program pesaing Pandu Digital milik Kominfo yang diajarkan berdasarkan nilai-nilai yang dibuat secara solutif dari saya. Misalnya ujian-ujian khusus di mana para peserta dihadapkan dengan sistem komputer dengan konfigurasi yang berbeda-beda, seperti perangkat Linux dengan WPS Office dan web browser Falkon. Apapun konfigurasinya, mereka harus tetap dapat berurusan dan memanfaatkan komputer tersebut untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan untuk lulus ujian Cakap Bermedia Digital ala program saya. Alpha yang diperoleh di sini dapat diuji dengan penelitian akademis terhadap para peserta dari program Pandu Digital yang asli terhadap konfigurasi sistem komputer yang berbeda-beda. Akhir kata, cara-cara seperti inilah yang akan saya tempuh dalam mengkritik pemerintah dalam era seperti ini. Saya yakin cara-cara seperti ini lebih ampuh untuk memadamkan ego politik yang sering menjadi hambatan utama dalam memperbaiki bangsa. Toh Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi tetap tidak bakal disahkan ketika Bjorka tidak beraksi di Indonesia...
Can I become a Christian VTuber?
Hey Shift, I recently saw some Christian people becoming VTubers, and there's some discussion over Reddit for the ethics of these. Since I've seen you and your friends are currently investing in VTubers, what are your stances about this? Answer Well, it's okay to be a VTuber, but remember that: You shall treat your virtual identity the same as your real self You shall not represent yourself as a son or daughter of animals, from the fierce ones like the dragons even to the cute ones like the cats You shall not bound your identity to the devil, death, hell, angels, forms of magic, myths, as well as the isekai you might have dreamt about You shall not bound your identity to anything deemed as occults and witchcraft in the real world, such as charms, potions, and amulets You shall not deceive every person by making them attracted to you because of your marked-up personality instead of your true one Your purpose is to be the true salt and light of the world, not ratifying yourself as a sensually attractive virtual person for the purpose of fanservice Because you are a child of God, not a child of Japanese idol culture. Many VTubers definitely fail the above criteria for obvious reasons. Some are daughters of foxes and cats, while some claim to be vampires. Many, many VTubers intentionally name themselves with Japanese names because they idolize the Japanese idol culture, and they just wanted to have fun in their version of Isekai. Well, if you wanted to have yourself a VTuber life, remember that you still should do this for God. There are still some valid reasons, though, like online privacy and stuff. The above guidelines should already enough to keep our VTuber life as holy and honest as possible.
Dikirimin file APK dari akun WhatsApp J&T? Kirim filenya biar kita sleding pelakunya!
(#_ )! Saat ini kita melihat beberapa kasus warganet yang dikirimi file APK sebagai resi pengiriman kurir palsu, misalnya dari J&T Express. Ya, J&T punya akun WhatsApp resmi sendiri, dan kurir-kurir pengantarnya seringkali juga membuat akun WhatsApp sendiri untuk mengirimkan pesan kepada pengirim dan penerima paket. Ya, makanya kegiatan penipuan seperti ini agak sulit dideteksi jika masyarakat Indonesia tidak tahu apa itu file APK. File APK adalah file aplikasi Android yang jika dipasang, dapat menimbulkan resiko keamanan yang sama dengan file EXE pada Microsoft Windows. Sang kurir itu bisa saja bermaksud memasang aplikasi penyusup alias malware kepada masyarakat yang mudah dikecoh. Dan karena banyak dari kita, di (#_ ), pernah bekerja sebagai malware itu sendiri, saatnya kita berjuang balik mencari siapa si pelaku penyusupan yang satu ini. Masalahnya, kita sama sekali belum dikirimi file APK dari kurir-kurir J&T palsu itu. Dan kita yakin pelakunya tidak hanya satu. Cara mengirim. Pertama-tama, simpan file APK tersebut ke dalam perangkat kamu. Ya, kamu masih aman selama kamu tidak memasang file tersebut (dengan membuka isinya dan menekan tombol Pasang/Install). Kedua, kirimkan file tersebut ke situs swisstransfer.com, dan kirimkan ke email menuju root@reinhart1010.id. Jangan upload dan kirim link dari Dropbox, Google Drive, iCloud, MEGA, OneDrive dan sebagainya, karena jika suatu saat mereka mendeteksi file tersebut sebagai malware, akun Anda akan berpotensi diblokir oleh mereka. Sedangkan, file yang diunggah melalui situs ini akan dihapus 30 hari setelah diunggah, sehingga link download tersebut akan kadaluwarsa setelah kami merilis hasil penelitian ini. Dan pastinya, jangan lupa untuk hubungi kami via Twitter atau Fediverse setelah mengirimkan file tersebut.
Supporting Faldi and Yudhi Satrio by stop listening to Levels' advices.
Starting today we decided to support two Indonesian tech workers, Naufaldi "F2aldi" Rafif S and Yudhi Satrio by stop following and reading someone's advices through his blog posts and Twitter account. The person in question is Pieter Levels, an award-winning multiple tech startup founder who thinks everyone should eventually move into Portugal. I was a secret fan of him, until now of course, as well as some of his friends who are eager in founding tech startups. And why? I'm actually amazed with his stance on async work, "unreachable" policy, and of course, Portugal. For those who have never heard about the word I'm going to say it right now, we consider these people as indiehackers. They are individuals building tech products mostly by themselves, then launch dedicated companies, especially to contain marketing and customer support teams for their products, then get some funds from venture capitalists and repeat! There's nothing wrong with indiehackers at all, and we have some of them in Indonesia, like Frans Allen with his brother who created a simple "ID card watermarker" app who gained some local media traction. Yes, for a simple web app which I can actually made it in just 3 hours. And you may be asking, why do we want to write a dedicated post to announce this, even though we could just do that privately. Sure, we could do that, but we still wanted to have our stance, both regarding the case and our support, written here. The context. It's the same case when the Indonesian parliament would like to penalize sex outside marriage with 1 year of jail. The law will also be applied to foreigners. So he complained. That's it, and as some Indonesian people with some initial degree of respect to him started commenting, he decided to lock his Tweet and block these people, F2aldi included. Yes, Indonesia still have many retarded government individuals and institutions, in terms of corruptions, all the "personal intentions" of being the government, monoreligion enforcement, and, just look at the PSE enforcement thing. But in terms of sex outside marriage, as prided by people to be compliant with Indonesian moral values, I can't help anymore but to say sorry and goodbye to the person I've previously considered interesting and inspiring. I have my own religious and spiritual stances on things like the decentralization of the Internet, and in this case, I'll support the new law. As always, that's it, I'm going back to work. This time under a new, revolutionary, non Levelsian way of work. Thank God I have my own.