Blog posts from feed-id-tech (#feed-id-tech)
Karena settingan APN bawaan, jaringan XL Axiata–AXIS tidak bisa menikmati IPv6 secara default.
Beberapa perangkat jaringan seluler XL Axiata dan AXIS masih memiliki konfigurasi APN lama yang melibatkan alamat proxy 202.152.240.50. Alamat proxy tersebut merupakan alamat IPv4, sehingga situs yang hanya memiliki alamat IPv6 (dan tidak ada alamat IPv4) tidak bisa diakses dari jaringan XL yang notabene sudah mendukung IPv6. Error ini kerap muncul sebagai ERR_PROXY_CONNECTION_FAILED di Google Chrome dan “The proxy server is refusing connections” di Firefox. Jika Anda tidak dapat mengakses situs IPv6, Anda bisa menggunakan pengaturan Access Point Name (APN) baru tanpa konfigurasi Proksi/Proxy, seperti panduan resmi Tips Roaming XL di https://www.xl.co.id/id/bantuan/produk/tips-nyaman-dan-hemat-di-luar-negeri. Hasil uji coba terkait pengaturan APN dan IPv6 juga dapat ditonton di https://youtu.be/Z3Fhg78jQc4. Ketika saya mengutak-atik konfigurasi alamat IPv6 di situs saya, saya mendengar kabar kalau jaringan XL sudah mulai menggunakan IPv6. Bahkan, XL pernah mendapatkan penghargaan sebagai jaringan dengan adopsi IPv6 tertinggi, disandingkan dengan Telkom Indonesia, CBN, dan operator lainnya. Saya mulai menulis website ipv6test.reinhart1010.id, awalnya terinspirasi dari situs milik Google, untuk mengecek dukungan IPv6. Dengan menggunakan paket data kartu AXIS saya, ada yang aneh: perangkat saya tidak menggunakan IPv6? Sebelumnya, saya hanya menyetel ipv6test.reinhart1010.id untuk menolak semua koneksi di luar IPv6. Waktu itu, saya agak sedikit bingung dengan pesan error ERR_PROXY_CONNECTION_FAILED di Google Chrome. “Perasaan saya tidak menyetel VPN atau proxy dengan cara apapun…” Namun setelah saya mengecek konfigurasi Access Point Name (APN) bawaan, ketemulah biang kerok “proxy” ini! Terus, bagaimana cara menyalakan IPv6 di jaringan XL? Jawabannya sederhana. Di konfigurasi APN saat ini, kosongkan kolom proksi/proxy. Tapi kalau mau lebih aman, saya rekomendasikan Anda untuk mengikuti panduan setel APN untuk dapat menikmati roaming melalui panduan resmi di https://www.xl.co.id/id/bantuan/produk/tips-nyaman-dan-hemat-di-luar-negeri. Konfigurasi ini tetap akan dapat berjalan meskipun Anda tidak berlangganan paket roaming apapun. Nama / NameXLBroadbandAPNinternetProksi / Proxy[Kosongkan]Port[Kosongkan]Nama Pengguna / Username[Kosongkan]Kata Sandi / Password[Kosongkan]Protokol APN / APN Protocol (bila ada)IPv4/IPv6Protokol Roaming APN / APN Roaming Protocol (bila ada)IPv4/IPv6 PENTING: Berdasarkan uji coba pribadi, metode reset APN dengan mengirim pesan SMS menuju 9667 tidak dapat bekerja untuk mengaktifkan IPv6. Anda harus menyetel konfigurasi APN secara manual. Jika Anda merupakan pengguna Android, Anda juga perlu menyetel konfigurasi Protokol APN / APN Protocol dengan nilai IPv4/IPv6, supaya jaringan Anda dapat menikmati koneksi IPv6 secara bawaan/default dan kembali ke IPv4 jika beberapa situs tidak dapat mendukung jaringan IPv6. Kini, dengan settingan APN XLBroadband baru, kita bisa mengakses situs internet melalui jaringan IPv6!
Hari-hari ini, suatu sistem dan software tak akan tercipta tanpa suatu ideologi.
Site Update: Now with new color palettes!
Earlier this year, we have discussed a new set of color palette, then refreshed it, which someday could become an integral part of our brand. These palettes are so versatile enough that we have been confident over this entire year to produce artworks, campaign media, and even apps exclusively relying to these limited set of colors. And making the palette programmatically with OkLCH allows us to accurately reproduce the kind of color shades we wanted for every color spectrum. But there were two main problems that we faced sooner: Itʼs difficult to reproduce colors which are optimized for user interface backgrounds. Sure, we can use either Galih-Ratna or Dilan-Milea for buttons and links, but these colors were not designed for background elements such as cards. There is no standard grey color shade. Or brown. Grey is significant in user interface design for neutral or disabled buttons and other interactive elements. So today, we are excited to announce a new color palette series: Rangga-Cinta, from the Indonesian record-breaking Ada Apa dengan Cinta? movie. These muted color sets are meant to complement the vibrancy prepresented by both Dilan-Milea and Galih-Ratna, and in fact, we are already using these on our reinhart1010.id website. Because of their nature of muted colors, the Rangga-Cinta version of Blue can be considered as the official version of our Gray. And they have generated some cool brown-like shades for use, too. Improving the consistency and interoperability between Dilan-Milea, Galih-Ratna, and Rangga-Cinta. We have also slightly tweak the Galih-Ratna color sets, so now Dilan-Milea 500 color scale is exactly the same with Galih-Ratna 500. Similarly, Galih-Ratna 50 also becomes the basis of Rangga-Cinta 50, and Dilan-Milea 950 is essentially the same as Rangga-Cinta 950. This has some technical benefits to our main website, which is currently based on Tailwind CSS. Before, we had assigned different colors for these glass card borders and background, not to mention the colored shadows and hover/active shades. These took a whopping 20 CSS color-related classes to render a single search bar! bg-gr-fuchsia-50/50 dark:bg-dm-fuchsia-900/50 focus:bg-gr-fuchsia-50 dark:focus:bg-gr-fuchsia-900 hover:bg-gr-fuchsia-50 dark:hover:bg-gr-fuchsia-900 text-gr-fuchsia-900 dark:text-white placeholder:text-gr-fuchsia-600 dark:placeholder:text-gr-fuchsia-100 border-gr-fuchsia-500 dark:border-dm-fuchsia-50 focus:border-gr-fuchsia-500 focus:dark:border-dm-fuchsia-50 shadow-dm-fuchsia-500/50 dark:shadow-dm-fuchsia-200/50 focus:shadow-dm-fuchsia-200/75 dark:focus:shadow-dm-fuchsia-200/75 hover:shadow-dm-fuchsia-200/75 dark:hover:shadow-dm-fuchsia-200/75 Now, by using these color synonyms, we can remove most of duplicate color classes (including colored placeholder texts in favor of standard grey ones) into just five! bg-rc-violet-50 dark:bg-rc-violet-900 hover:bg-white dark:hover:bg-dm-violet-800 border-dm-violet-300 Coming soon: A standard for applying colors. Well, as promised earlier, we are still going to announce new updates throughout this holiday season. But at the meantime, we are also still in the works of standardizing how these colors should be used. You may also notice that weʼve implemented dynamic theming on different webpages under the same site. Itʼs just another part of standardization that are taking place here. In the future, we will eventually standardize color schemes for form controls and so. But thatʼs all for now!
Peringatan bagi "Industri 4.0 vs Web 3.0" di Indonesia.
Pada tahun 2019, tepat saat saya mengerjakan tugas GSLC (Guided Self Learning Class) pertama dalam mata kuliah Character Building: Pancasila, saya menulis salah satu reply forum terpanjang pada BINUSMAYA (sistem informasi akademik dan manajemen pembelajaran Universitas Bina Nusantara) yang membahas tentang ancaman "Web 3.0" pada keutuhan Pancasila. Artikel itu akhirnya saya revisi dua tahun kemudian. Dan kini, saya mulai melihat kehancuran para aplikasi penengah dengan munculnya berbagai isu dari JD.ID, Moladin, HappyFresh, sampai GoTo "kebanggaan bangsa". Anda bisa tanya akun kucing yang satu itu untuk informasi lengkapnya. Tampilan screenshot asli pada situs BINUSMAYA Sebelum berkuliah di Universitas Bina Nusantara, saya sebenarnya sudah cukup memahami perkembangan dunia Internet Terdesentralisasi, pemanfaatan blockchain serta mata uang kripto. Bahkan, saat ini Anda sudah dapat berinteraksi dengan situs blog ini melalui Webmentions dan kami sudah membuka kanal Fediverse/ActivityPub resmi sehingga Anda dapat langsung mem-follow saya hanya dengan mencari username @[email protected] pada situs Mastodon dan sebagainya. Kali ini, saya ingin mengingatkan kembali bahwa ada niat politik dan ideologi di balik semua rencana ini, baik Bitcoin, Ethereum, IPFS, Mastodon, ActivityPub, Solid, dan hampir semuanya. Bahkan, di dalam dunia pengembangan Fediverse sendiri, tim pengembang Pleroma sempat terpecah karena peperangan ideologi tersebut. Teknologi dan sistem ini kini semakin digenjot atas kekhawatiran segelintir orang terhadap para pemerintah dan korporat penguasa internet hari-hari ini, yang memengaruhi kebebasan berekspresi dan keamanan data dalam internet di seluruh dunia. Bahkan di Indonesia sendiri, ada saja yang mengkritisi langkah-langkah pemerintah terhadap kebijakan internet yang cukup kontroversial. Ingat kasus pemutusan internet di Papua dengan alasan "untuk menghindari penyebaran hoaks di media sosial"? 1. Adanya rencana balas dendam kooperatif atas komersialisasi dan korporasi internet hari-hari ini Pada tahun 2018, seseorang merilis buku berjudul "Life After Google" yang secara singkat menyatakan bahwa Google (dan perusahaan-perusahaan serupa) akan gagal secara sistematis, dan kegagalan tersebut meliputi masalah dari potensi celah keamanan siber hingga pandangan dan etika terhadap Big Data dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). Namun, kelemahan-kelemahan sistematis tersebut kini secara lahan-perlahan digantikan dengan sistem terdesentralisasi layaknya mata uang kripto saat ini. Dan kira-kira pada tahun yang sama, kasus keamanan siber dan perlindungan data semakin marak. Ada yang ingat kasus Facebook dengan Cambridge Analytica? Bahkan ada yang ingat suatu momen di mana Anda sering mendapatkan email "pembaharuan Kebijakan Privasi" dalam sebulan hanya karena adanya pemberlakuan aturan GDPR? Atau adakah yang pernah menyadari bahwa mayoritas perusahaan-perusahaan teknologi besar itu berasal dari satu negara yang sama: Amerika Serikat? Siapa yang geram di sini? Uni Eropa sepertinya menjadi salah satu juara dengan menuntut dan mendenda banyak perusahaan teknologi asal Amerika Serikat dengan dua tameng: "perlindungan data pribadi" dan "persaingan tidak wajar" (monopoli). China pun tak ingin ketinggalan dengan mulai membuat replika atas produk, layanan, dan perusahaan-perusahaan tersebut di negaranya sendiri. Bahkan, kini aplikasi populer seperti TikTok dan Genshin Impact itu orisinil berasal dari satu negara yang sama: China. Kalau Indonesia? Saya masih ragu apakah pemerintah di sini benar-benar memahami kasusnya. Bahkan dulu Kemkominfo sempat menyatakan merekalah yang merupakan salah satu penggerak di balik pembatasan jumlah forward pada aplikasi WhatsApp. Sedikit kutipan dari situs Liputan6: Ini adalah upaya bersama antara WhatsApp dengan pemerintah dari 4-5 negara, termasuk Indonesia, karena di negara-negara tersebut viralitas hoaksnya harus segera ditangani. Dan Indonesia masuk ke negara yang jadi prioritas, https://www.liputan6.com/tekno/read/3876635/mulai-hari-ini-forward-pesan-whatsapp-cuma-bisa-5-kali Coba kalau situs https://reinhart1010.id ini sudah ada sejak tahun 2019, mungkin saya akan buat headline sebagai berikut: Jadi yang buat aplikasi WhatsApp itu Facebook atau Kemkominfo? Masalah-masalah seperti inilah yang sebenarnya mulai menggerakkan sebuah rencana kooperatif, saya bilang ini Master Plan, untuk memecah-mecahkan kekuasaan internet dari tangan perusahaan dan pemerintah, termasuk pemerintah Indonesia, ke "tangan" yang lebih kecil. "Tangan" yang saya maksud ini bisa berupa perusahaan-perusahaan kecil, organisasi-organisasi nirlaba, dan bahkan, siapa tahu saya juga bisa moengoperasikannya sendiri. 2a. Masalah "1000 Startup Digital" Tahun 2019 juga menjadi tahun di mana saya mengetahui tentang gerakan 1000 Startup Digital yang digaungkan oleh pemerintah Indonesia. Tujuannya adalah: membangun generasi startup digital ala Traveloka, Tiket.com, Gojek, Qlue, Tokopedia, dan sebagainya. Saya melihat bahwa para startup ini masih berupaya untuk mendatangkan Web 2.0 di Indonesia, khususnya masalah ekosistem O2O (online-to-offline, atau sebaliknya) yang juga sempat digaungkan oleh perusahaan kompetitor seperti Grab. Dan pemerintah sendiri mengharapkan bahwa perusahaan-perusahaan terebut kelak akan berkembang pesat seperti Gojek yang kini mulai beroperasi di luar Indonesia. Namun, menurut saya ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh Indonesia jika perkembangan perusahaan-perusahaan tersebut tidak dikontrol dengan baik, seperti proyeksi saya tentang Tokopedia dan Amazon pada tahun 2019. 2b. Tokopedia di masa depan adalah Amazon di masa kini (2019)? Sebelum muncul kabar merger antara Tokopedia dengan Gojek pada tahun 2021, saya sendiri telah memprediksi bahwa Tokopedia akan melakukan diversifikasi usaha layaknya Amazon pada hari-hari ini. Selain layanan e-commerce, Amazon juga kini berperan penting pada infrastruktur situs dan aplikasi pada internet berkat layanan Amazon Web Services, layanan pengantaran yang juga terintegrasi pada sistem e-commercenya, sistem smart home yang cukup terintegrasi dan hebat, dan sebagainya. Memang apa sih yang salah dengan Amazon, atau Tokopedia yang saya proyeksikan di masa depan? Amazon kini masuk ke dalam daftar lima perusahaan yang ditargetkan untuk "dibumihanguskan" oleh segelintir orang, kelompok, dan bahkan organisasi yang tak menyukai Google tersebut, yaitu GAFAM: Google, Amazon, Facebook, Apple, dan Microsoft Mungkin Anda juga pernah mendengar bahwa Amazon juga masuk ke dalam daftar lain yaitu FAANG: Facebook, Amazon, Apple, Netflix, dan Google FAANG dan GAFAM adalah dua hal yang berbeda. Jika FAANG mendeskripsikan daftar perusahaan yang sering diidam-idamkan oleh para penggiat pengembang software untuk bekerja di (salah satu perusahaan di) sana, GAFAM mendeskripsikan daftar perusahaan yang terlibat dalam oligarki besar di dalam dunia maya dan internet. 2c. "1000 Startup Digital" belum tentu akan bertahan pada era web3! Salah satu tujuan yang diharapkan dari web3 ini adalah untuk memecah-mecahkan kekuasaan oligarki tersebut, dari sentralisasi menuju desentralisasi. Sebagai contoh, Siapapun kini dapat menguasai Bitcoin, tapi siapapun sulit untuk menguasai Bitcoin secara keseluruhan. Mungkin di sini Anda bertanya, bagaimana caranya untuk menguasai Bitcoin? Apakah dengan membeli sahamnya? Atau menjadi anggota di balik perusahaan atau organisasi di balik Bitcoin? Bahkan sampai saat ini masih belum ada yang tahu pasti siapa sosok Satoshi Nakamoto itu. Bagaimana caranya kalian bisa "punya" Bitcoin kalau tidak pernah ketemu langsung dengan si Satoshi? Tapi memang, siapapun kini bisa menguasai Bitcoin, karena Bitcoin merupakan sebuah sistem pembayaran yang terdesentralisasi. Mulai dari membuat akun wallet baru, Anda sendiri sudah memilikinya. Apalagi jika Anda terlibat langsung dengan proses mining-nya, Anda secara otomatis juga terlibat untuk memiliki dan mengembangkan jaringan ledger transaksi pada Bitcoin. Tapi kalau Anda ingin menguasainya secara keseluruhan, Anda harus bersikeras untuk mengambil alih semua infrastruktur dari sistem Bitcoin yang kini sudah tersebar di berbagai tempat dan oleh berbagai orang. Web Terdesentralisasi ini ibaratnya sama bila saham dari Bank BCA sepenuhnya (100%) dimiliki oleh masyarakat yang membelinya dari Bursa Efek Indonesia. Anda masih bisa buka rekening, masih bisa bertransaksi, masih bisa beli sahamnya, dan bahkan masih bisa menjadi direktur utamanya. Tetapi untuk mempertahankan posisi Anda sebagai direktur utama tersebut, Anda harus meyakinkan jutaan masyarakat Indonesia yang telah membeli saham tersebut untuk tetap memilih Anda pada Rapat Umum Pemegang Saham berikutnya. Rapat pemilihan direktur seakan-akan berubah menjadi Pemilihan Umum. Jadi bisa dibayangkan jika web3 masuk ke Indonesia, misalnya dalam bentuk aplikasi ojek online yang terdesentralisasi. Saya yakin para pangkalan ojek tradisional akan kembali menikmati kejayaannya dengan melakukan federasi terhadap pangkalan-pangkalan lain yang bergabung pada aplikasi yang sama. Apalagi kalau pasar dan ekonomi di dalam aplikasi ini sulit untuk dikuasai sepenuhnya oleh satu atau dua perusahaan saja seperti Gojek dan Grab. Perusahaan-perusahaan yang dulu dinyatakan membawa disrupsi terhadap Indonesia, kini malah terancam terdisrupsi balik oleh desentralisasi kekuasaan internet. Apalagi jika tarif aplikasi ini ternyata lebih murah daripada aplikasi sebelah meskipun kerap dihiasi dengan promo-promo menarik. Saya sendiri cukup khawatir jika kasus-kasus serupa juga terjadi dengan startup lainnya, kebijakan, dan bahkan kebudayaan masyarakat di Indonesia. Misalnya, munculnya aplikasi streaming film berbasis NFT yang dapat mengubah persepsi Indonesia terhadap Hak Cipta. Atau adanya sebuah aplikasi media sosial yang menggunakan IPFS sehingga konten-konten negatif tidak akan mudah untuk dihapus. Saya mendengar bahwa pemerintah India kini mulai gentar dengan adanya masalah tersebut, dan mulai menerapkan peraturan seperti hukuman pidana atas pengunduh konten via BitTorrent, padahal belum tentu semua konten yang disebar via BitTorrent mengandung hal-hal yang melanggar Hak Cipta, seperti mengunduh file ISO untuk pemasangan sistem operasi Ubuntu yang BOLEH didistribusikan di bawah lisensi GPL versi 2 atau 3. Mayoritas masyarakat Indonesia tidak akan peduli soal ini. Pada jawaban tersebut saya menyatakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia tidak akan peduli terhadap kasus seperti ini, karena mereka sendiri telah terobsesi pada dunia media sosial yang diciptakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Saya melihat hal tersebut masih relevan saat ini, bahkan semakin diperkuat dengan munculnya hal-hal baru seperti TikTok yang semakin kini semakin viral. Kira-kira, apa yang akan mereka peduli pada masa depan? Saya yakin mereka masih belum move on dari isu SARA dan politik, trending topic, sinetron, konten viral, hoaks, dan seterusnya main TikTok terus-terusan sambil haus dan lapar akan pendapatan AdSense. Kembali lagi ke slideshow materi sharing Connect Group saya dua minggu yang lalu: Ya ujung-ujungnya itu dan itu lagi. Kalau kebiasaan masyarakatnya masih begitu, kapan Indonesia bisa maju?
Membela DEV-C++
https://twitter.com/lynxluna/status/1619905514279948288?s=20&t=dZEzElWym8Og7ZCAMCtrgg Sebenarnya, ada beberapa alasan mengapa banyak masih banyak kampus yang menggunakan DEV-C++. Meskipun kelihatanya sudah jadul. IDE adalah singkatan dari "Integrated Developer Environment", alias aplikasi khusus untuk membantu kamu membangun program dengan mudah dan cepat. 1. DEV-C++ masih bagus untuk dasar-dasar pemrograman dan competitive programming. Pertama-tama, beberapa universitas mengajarkan bahasa C hanya untuk mengenal dasar-dasar pemrograman dan untuk mengajar competitive programming. Di Universitas Bina Nusantara, misalnya, soal-soal ujian untuk mata kuliah COMP6047 - Algorithm and Programming dan COMP6048 - Data Structures sendiri adalah murni soal competitive programming. Apalagi untuk mata kuliah berikutnya, COMP6049 - Algorithm Design and Analysis, setiap mahasiswa diwajibkan untuk mengikuti kontes pemrograman tahunan ICPC Indonesia National Competition (INC) sebagai salah satu syarat kelulusan dari mata kuliah tersebut. Berbicara soal competitive programming... Beberapa kontes pemrograman termasuk ICPC melarang setiap peserta untuk menggunakan fitur code suggestion dan code completion seperti IntelliSense di Visual Studio dan Visual Studio Code. Ada juga yang mengatakan bahwa salah satu tujuan mahasiswa diajarkan untuk memakai DEV-C++ adalah agar mereka terbiasa untuk tidak menggunakan fitur tersebut, apalagi dalam kontes-kontes pemrograman. 2. DEV-C++ masih mudah dipasang. Kedua, memang DEV-C++ adalah salah satu IDE yang sangat mudah untuk dipasang. Hanya unduh dan klik instal. Berbeda dengan Microsoft Visual Studio (bukan Visual Studio Code) yang membutuhkan puluhan GB untuk dapat dipasang dengan benar, karena Visual Studio juga memasukkan berbai SDK yng diperlukan untuk membangun aplikasi yang berjalan di perangkat Windows. Dengan DEV-C++, Anda juga tidak perlu untuk memasang compiler secara manual, seperti Clang dan GCC serta menggunakan environment tertentu seperti MinGW, Cygwin, ataupun WSL. 🍎🐧 Bagaimana dengan pengguna macOS dan Linux? Pada waktu itu, saat saya masih cinta-cintanya dengan Linux, saya akhirnya memakai IDE yang mirip dengan DEV-C++. Yaitu Geany. Tampilannya juga sesederhana DEV-C++, dan saya seringkali berpindah IDE antara DEV-C++ di kampus dan Geany di rumah. Geany sendiri sebenarnya juga sudah tersedia di Windows dan macOS, dan bagusnya Geany juga bisa mendukung bahasa pemrograman lainnya seperti Python. 3. DEV-C++ juga mengingatkan bahwa tidak semua IDE itu seindah Visual Studio Code, produk JetBrains, dan Xcode. (Pengguna Vim dan Neovim minggir dulu...) Tidak semua IDE punya tampilan yang bagus. Beberapa codefluencer (atau yang saya sebut sebagai "Recycled Developers") di Twitter pasti merekomendasikan entah VS Code ataupun produk JetBrains (IntellIJ, PHPStorm, PyCharm, WebStorm, dsb.) dengan tampilan yang modern dan lebih familiar kepada kebanyakan pengguna. Tapi, jangan salah. Jika kamu sedang menimba ilmu menjadi enterprise software engineer untuk aplikasi desktop/PC, ada kalanya di mana kamu harus berhadapan dengan IDE-IDE jadul ini karena perusahaanmu telah bertahan menggunakan SDK dan framework jadul yang sudah tidak di-update bertahun-tahun. Saya tahu, membangun enterprise software ini tidak semudah membangun startup aplikasi mobile yang bisa mengadopsi teknologi-teknologi terkini. Tidak semua IDE seindah itu. Dan DEV-C++ adalah salah satunya, seperti tidak bisa move on dari tampilan era Windows 95.
Lokasi favoritmu kini bisa dibuka di aplikasi favorit mereka!
Surat Pengunduran Diri.
Sehubungan dengan adanya kontroversi dan konflik kepentingan terkait penerapan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 10 Tahun 2021, tentang perubahan atas Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat; Saya memutuskan untuk berhenti dan mengurungkan seluruh niat untuk membangun aplikasi-aplikasi yang memanfaatkan koneksi Internet, alias online-first. Iya, ini semua termasuk aplikasi-aplikasi superapp dan penengah*, yang kerap mengklaim dirinya sebagai penggerak perekonomian bangsa dan juga yang selalu disponsori besar-besaran oleh pemerintah melalui Gerakan 1000 Startup Digital. Gojek yang juga mengklaim dirinya sebagai aplikasi penengah. Dalam kasus ini, proyek ASEAN Entrepreneurship Profiling (AEP Mobile) akan menjadi proyek terakhir saya dalam mengembangkan aplikasi berbasis jaringan Internet. Setelah itu, jika kondisi regulasi Internet dan ruang siber Indonesia masih memburuk, saya tetap akan mengurungkan seluruh niat sampai waktu yang tidak ditentukan. Beberapa aplikasi penengah yang disponsori oleh Gerakan 1000 Startup Digital Indonesia. Saya akan kembali fokus memproduksi buah di kebun yang lama, salah satu kebun yang sudah ditinggalkan masyarakat demi kebun yang terlihat menghasilkan lebih banyak buah, berkat pupuk viral dan pupuk ternama dari para pengiklan dan modal ventura. Poundland! Everything's £1!!! (Edward Hands, CC BY-SA 4.0) Saya akan tetap berjuang mewujudkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang lebih baik bagi Indonesia, namun dengan cara konvensional yang kini sebenarnya sudah tidak konvensional lagi. Hampir setiap aplikasi unggulan karya anak bangsa yang dirilis sejak 5 tahun terakhir selalu menyematkan fitur-fitur wajib seperti sign up dan log in (SULI), karena itu mereka sudah menjadi hal yang sangat konvensional bagi mata dan diri saya sendiri. Salah satu kampanye promosi buah hasil ladang lama yang konon dikatakan konvensional. Dan satu lagi, saya tetap memutuskan untuk menolak Web3 dan mencari alternatif solusi yang lebih baik, seperti Web0. Saya sangat ingin agar setiap produk dan inovasi yang akan saya kembangkan selama 2 tahun ke depan dapat dinikmati oleh siapapun, tanpa perlu khawatir akan gejolak kurs asing dan memahami jargon-jargon kriptografi yang cukup banyak. Toh Alice awalnya cuman mau kirim pesan aja ke si Bob, ga mikirin tentang konsensus, EVM, PoW, dan PoS... Akhir kata, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih atas segala penawaran dan kesempatan kerjasama yang telah Anda dan kalian semua berikan sejak 3 tahun terakhir. Namun, sebagai Anak IT pertama di Indonesia saya kini harus berhadapan dengan misi-misi dan masalah-masalah baru di Indonesia. Indomaret Villa Bintaro Regency (VulcanSphere, CC BY 4.0) *Aplikasi penengah adalah aplikasi yang berambisi untuk menjadi penegah bagi kehidupan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Misalnya Tiket.com dan Traveloka yang ingin menjadi penengah segala keinginan perjalanan dan pariwisata, PeduliLindungi yang merupakan penengah kontrol sosial masyarakat selama pandemi dan seterusnya, HappyFresh dan Segari yang ingin menjadi penengah kebutuhan belanja bahan pokok masyarakat, dan Octopus yang berambisi menjadi penengah solusi pengolahan sampah di Indonesia.
Koperasi Indiehacker Indonesia: Sebuah Proposal
Saya sebelumnya mengumumkan untuk mendirikan perusahaan baru bernama (#_ ). (#_ ) adalah perusahaan Indonesia pertama yang hanya terdiri atas satu manusia dan robot sebagai mayoritas pekerja. Tentunya, masih banyak orang yang menertawakan pengumuman saya: Masa nama perusahaannya (#_ )?\(#_ )/Kebanyakan main Cyberpunk 2077 dan Universal Paperclips ya?Kalau pendirian PT kan minimum 2 orang (kecuali Perseroan Perseorangan per omnibus law), emang yakin bisa tahan sendiri?Pemisahan modal pribadi dan usaha bagaimana nih? Dan ternyata, saya tak sendirian. Ada juga beberapa indiehacker di Indonesia yang sama-sama memiliki keinginan untuk mendirikan perusahaan sendiri, termasuk salah seorang pengguna di situs forum Pembangun.net: Kenapa saya tanya begini? Karena ada beberapa hipotesis (tanpa dasar valid) dari saya:+ Orang Indonesia cenderung susah keluar uang untuk layanan online (meskipun 3-4 tahun belakangan, nggak juga sih).+ Orang Indonesia (mungkin) kurang percaya kepada sebuah layanan tanpa badan hukum yang sah (PT, CV) apalagi jika layanan tersebut menyasar ke pengguna di area bisnis.Aji Pratama (@atamasite) Karena itu, dengan ini saya menawarkan untuk membangun dan mempelopori sebuah koperasi yang menaungi berbagai indiehacker di Indonesia, termasuk mereka yang baru saja ingin belajar mengembangkan layanan dan aplikasi di masa mudanya. Ya. Koperasi. Mengapa koperasi? Sebelum saya lanjut, saya yakin Anda masih melihat betapa banyaknya koperasi di Indonesia yang berujung di tempat-tempat seperti ini: Sumber: http://kopsms.blogspot.com/ Sumber: http://ajengaf.blogspot.com/2013/10/beberapa-koperasi-yang-ada-di-bogor-dan.html Sumber: https://blog.indonetwork.co.id/hingga-2017-jumlah-koperasi-dan-umkm-di-surabaya-tumbuh-pesat/ Ya, ujung-ujungnya jualan di pasar, kios, pujasera (food court), dan sebagainya. Ada pula koperasi yang menyediakan toko sendiri seperti yang dilakukan oleh para mahasiswa UNESA ini: Sumber: https://www.republika.co.id/berita/pzimr5370/geliat-kopma-menangkap-peluang-tren-digital Ya, toko-toko dan food court tersebutlah yang menjadi salah satu inspirasi di balik konsep koperasi indiehacker ini. Mereka bahkan sama-sama menggunakan infrastruktur (misal: tempat dagang, mesin EDC, rekening QRIS) yang sama untuk maju bersama. Sekarang, bagaimana jika kita dapat membangun sebuah komunitas usaha yang memiliki fasilitas: Lisensi Apple Developer Account untuk publikasi aplikasi ke App Store?Penyewaan perangkat komputer untuk pengembangan aplikasi, CI/CD, bahkan menjalankan SaaS yang Anda bangun?Integrasi payment gateway bersama sehingga Anda tidak perlu lagi untuk menunggu pendaftaran payment gateway untuk memonetisasi SaaS dan aplikasi Anda?Pendanaan untuk keberlangsungan proyek open source Anda, seperti apa yang telah saya lakukan dalam HAM (tema wiki berbasis Jekyll)? Dan di mana anggotanya dapat lebih berfokus mengembangkan produk-produk baru tanpa harus selalu berurusan dengan urusan legal termasuk pendirian perusahaan, pemisahan modal, sertifikasi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Kominfo, perpajakan, dan sebagainya. Jika Anda tertarik untuk bergabung atau bertanya-tanya tentang konsep koperasi ini, Anda dapat menghubungi saya via Twitter (@reinhart1010) atau via email ke [email protected]. Saya optimis gerakan ini dapat membawa perubahan dalam industri aplikasi, SaaS, koperasi, dan bahkan UMKM di Indonesia. Di saat banyak perusahaan besar mendirikan solusi SaaS bagi para UMKM, kita mempelopori gerakan UMKM yang bergerak dalam bidang SaaS. Apalagi, jika kita sama-sama lebih berfokus untuk keberlangsungan aplikasi dan layanan yang kita kembangkan daripada sekadar menghasilkan uang yang banyak.