Saya menulis artikel ini sebagai seorang warga negara Indonesia yang bertanggung jawab memilih pasangan presiden Ir. Joko Widodo - K.H. Ma’ruf Amin pada tahun 2019.
Saya juga awalnya menulis artikel ini untuk membuang kekesalan kepada Kementerian Informasi dan Komunikasi Republik Indonesia. Tapi, setelah melihat kejadian dalam iklim politik saat ini ini, dimana salah satu partai yang dulu berkuasa kini ditinggal sebagai oposisi, dan munculnya aturan-aturan kilat untuk melegalkan adanya dinasti politik tertentu, maka izinkanlah saya untuk menyampaikan keenam masalah ini, yang jauh lebih besar dengan apa yang disuarakan rekan-rekan mengenai #KawalPutusanMK, pencalonan kepala daerah, dan dinasti politik.
Pemerintah telah membuat Indonesia menjadi negara pengemis, ibarat mengemis 10 investor demi 10 juta UMKM. Mulai dari Gerakan 1000 Startup Digital, yang mungkin juga berharap untuk menciptakan 1000 perusahaan serupa yang berakhir buruk dan dikuasai niatan negara asing seperti Gojek dan Tokopedia, hingga rencana penawaran lahan-lahan besar di IKN kepada investor-investor asing hingga 190 tahun.
Yang melarat semakin dikasihani, dan termotivasi untuk tetap menjadi orang melarat. Apakah bantuan sosial, yang seharusnya membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat, justru membuat lebih banyak masyarakat ingin menjadi miskin supaya semakin dikasihani oleh pemerintah? Pemerintah gagal mengajarkan “revolusi mental” bagi yang melarat untuk bertumbuh. Malah tak sedikit dari mereka memilih presiden baru demi susu gratis dan makan siang gratis setiap harinya.
Yang bertumbuh semakin ditekan demi ambisi dan kuasa. Market bifurcation dan penghilangan masyarakat berekonomi menengah itu benar-benar nyata. Biaya-biaya hidup semakin naik secara artifisial demi mendukung ambisi tertentu, termasuk mempertahankan sertifikasi Halal yang diwajibkan hingga UMKM, mengatasi sedikit biaya komisi (Merchant Discount Rate) jasa pembayaran demi Gerakan Nasional Non Tunai, membayar kewajiban BPJS dan ke depannya Tapera, hingga mengurangi sampah plastik, yang kini sudah jarang terdengar kembali dari Bali, Jakarta, dan mereka yang menggaungkannya beberapa tahun lalu.
Pemerintah hanya meregulasi secara cepat tanpa memberikan solusi secara tepat. Saya masih ingat ketika akhir 2022, Kementerian Komunikasi dan Informatika menginginkan semua startup digital yang terdampak gejolak ekonomi untuk terus membela UMKM. Faktanya, mereka yang terdampak tidak bisa menurut keinginan UMKM dan investor secara sekaligus, dan para investor memiliki kekuasaan seribu kali lipat daripada perhimpunan koperasi dan UMKM. Kementerian yang sama juga tidak pernah membalas pertanyaan saya di Twitter (kini X) terkait cara mendaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat hingga hari-H peraturan tersebut diberlakukan.
“Revolusi mental” hanya berlaku bagi para pegawai, bukan para penguasa (dan masyarakat miskin). Cukup jelas; korupsi dan konflik kepentingan masih muncul di mana-mana. Belum termasuk upaya-upaya untuk melemahkan lembaga tertentu termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dan karena rakyatnya sudah tidak peduli, pemerintah yang dipilih juga tidak peduli. Siapa yang mau maju dalam posisi-posisi pemerintah selain hanya karena kuasa? Faktanya, sebagai warga negara yang baik kita selalu bingung memilih siapa saja yang boleh duduk di kursi parlemen. Dan dampaknya sangat sistematis: kita memilih mereka secara sembarangan, sehingga mereka juga memerintah dengan sembarangan. Kesalahan seperti ini tidak bisa diperbaiki tanpa revolusi yang baik, atau jika harus melalui evolusi, membutuhkan 10-20 tahun untuk akhirnya sadar.
Meskipun seorang pemerintah tetaplah seorang manusia yang tidak sempurna, sistem pemerintahan itu seharusnya ada untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Masalahnya, mayoritas orang-orang di dalam tersebut tetap memiliki mental yang sama, dan meskipun standar moral para aparat dan pegawai BUMN semakin ditinggikan, apa kabar dengan standar moral menteri, parlemen, bahkan kita, yang selalu diminta untuk memilih mereka baik langsung atau tidak langsung?